Cara Memperoleh Keikhlasan
(bagian 5)
Membebaskan Diri dari Perkataan Orang Lain
dan Hanya Mencari Ridha Allah
Dalam sebuah karyanya tentang keikhlasan, Badiuzzaman Said Nursi
menggarisbawahi pentingnya membersihkan diri dari kebutuhan untuk menerima dari
orang lain dan berpaling hanya untuk mendapatkan ridha Allah, “Engkau harus
mencari keridhaan Ilahiah dalam setiap tindakan. Jika Allah Yang Mahakuasa
merasa ridha, tidak ada pentingnya seluruh dunia ini disenangkan. Jika Allah
menerima sebuah perbuatan dan manusia menolak, tak ada pengaruh baginya. Sekali
keridhaan Allah diraih dan Dia menerima perbuatan kita—bahkan tanpa kita minta
kepada-Nya—Allah dan kebijaksanaan-Nya akan menginginkannya. Allah akan membuat
orang lain juga menerimanya. Ia akan membuat mereka ridha terhadap perbuatan
tersebut. Karena itulah, tujuan satu-satunya dalam penghambaan ini adalah untuk
mencari keridhaan Tuhan.”[1]
Contoh ini adalah konsekuensi dalam memahami arti keikhlasan. Ditekankan
bahwa sekali Allah ridha, tidak ada sesuatu pun di seluruh dunia ini yang akan
berpaling darimu. Selain itu, Allah juga mengendalikan hati-hati mereka. Jika
Allah berkenan, Dia akan membuat mereka semua ridha kepadamu.
Di sisi lain, jika Allah tidak memberikan ridha-Nya, tidak penting apakah
seluruh isi bumi in memberikan segala milik mereka. Setiap mukmin sejati
memahami dengan pasti bahwa jika ia hanya mendapatkan ridha manusia, tiadalah
artinya semua itu di hadapan Allah dan ia tidak akan mendapatkan apa-apa untuk
bekalnya di hari kemudian kecuali Allah menginginkan sebaliknya. Mereka yang
telah meridhai mungkin banyak jumlahnya, kekayaannya, ataupun kekuasaannya.
Akan tetapi, semua itu lemah dan hanya didapatkan dengan seizin Allah. Suatu
saat, semua itu akan kehilangan kekuatannya setelah membusuk di perut bumi.
Karena itulah, dukungan jumlah yang besar tidak akan berarti di hari akhir.
Hanya Allah yang abadi dan patut kita mintai keridhaan-Nya. Hanya dengan
memahami kebenaran ini, seseorang bisa mendapatkan pemahaman keikhlasan yang
abadi. Ia harus menuju keridhaan Allah dengan membebaskan dirinya dari persepsi
orang lain. Di dalam Al-Qur`an, Allah menjelaskan hal ini dengan perumpamaan,
“Allah membuat
perumpamaan (yaitu) seorang laku-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang
yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik
penuh dari seorang laki-laki (saja); adakah kedua budak itu sama halnya? Segala
puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Sesungguhnya, kamu
akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar [39]: 29-30)
Di dalam Al-Qur`an, mencari keridhaan selain kepada Allah disebut syirik
atau mempersekutukan Allah. Dalam ayat yang disebutkan di atas, Allah
membandingkan orang yang mencari ridha manusia dan mempersekutukan Allah sebagai
budak yang dimiliki oleh beberapa sekutu dalam perselisihan satu sama lain. Ia
pun membandingkan keimanan seseorang yang teguh mengabdi kepada-Nya sebagai
budak yang sepenuhnya dikuasai oleh seseorang. Allah mengingatkan kita bahwa
semua makhluk selain Allah pasti akan mati pada akhirnya. Jadi, Dia mengajak
manusia untuk memikirkan pentingnya mencari hanya keridhaan-Nya.
Karena itu, seseorang harus mengevaluasi dirinya dengan tulus ihklas tanpa
membiarkan nafsu rendahnya menipu dirinya. Salah satu kecenderungan yang paling
kuat dari nafsu rendahnya adalah keinginan untuk mendapatkan ridha dari orang
lain, sebagaimana bertentangan dengan ajaran moral Al-Qur`an. Jika tidak,
banyak orang yang melakukan sesuatu bukan karena mereka menyukainya atau karena
kebutuhan, melainkan supaya mereka dihargai oleh kelompoknya. Dengan kata lain,
mereka berusaha untuk meningkatkan status mereka di masyarakat. Karena itu,
tujuan hidup utama mereka adalah ingin mendapat keridhaan orang lain.
Sebagian dari Anda pasti sering mendengar perkataan orang-orang, “Apa kata
orang nanti?”, “Bagaimana kita menjelaskannya kepada orang lain nanti?”, “Kita
bisa menjadi bahan tertawaan di masyarakat,” atau “Kita tidak akan bisa pergi
ke tempat umum lagi karena malu.”
Secara umum, reaksi-reaksi ini terlalu mementingkan apa yang dikatakan dan
dipikirkan orang lain. Terkadang orang merasakan kepedihan dalam hati
nuraninya, bukan karena mereka melakukan kesalahan, tetapi karena orang lain
mengetahui hal itu. Bagaimanapun juga, jika suatu kesalahan dilakukan dan pada
kenyataannya Allah mengetahui hal tersebut, barulah menjadi masalah yang besar.
Sekali lagi, seseorang harus berpaling hanya kepada Allah untuk bertobat ketika
ia tidak merasa bertanggung jawab kepada Allah atas sebuah kesalahan, tetapi
merasa malu di depan orang lain. Jelaslah, ia lebih mementingkan ridha manusia
daripada ridha Allah. Ketika berada di luar, sebagian orang gagal melaksanakan
tugas agama seperti saat berada di rumah. Terlalu berlebihan terhadap anggapan
orang lain membuatnya memilih untuk mendapatkan keridhaan orang lain daripada
keridhaan Allah.
“Laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati
Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi
goncang.” (an-Nuur [24]: 37)
Jadi, setiap orang beriman yang berharap untuk mendapatkan keikhlasan,
harus membebaskan dirinya dengan sempurna dari kekhawatiran terhadap apa yang
akan dikatakan orang lain. Kekhawatiran ini mengakar dalam komunitas masyarakat
yang bodoh. Jadi, seseorang tidak akan pernah dapat berbuat ikhlas dengan murni
selama ia membutuhkan pengakuan dari orang lain.
Seseorang harus selalu ikhlas dalam niatnya dan dengan murni mencari
keridhaan Allah untuk mendapatkan keikhlasan. Kenyataan bahwa orang lain
memberikan kerelaan padanya, tidaklah bermanfat baginya kecuali Allah
merelakannya juga. Adapun orang yang mendapatkan keridhaan, bantuan, cinta, dan
pengakuan Allah, ia telah mendapatkan bantuan yang bisa didapatkan oleh semua
orang. Jika ia berlaku ikhlas, Allah akan membuatnya mampu menjalani keidupan
yang paling baik di dunia dan di akhirat. Allah memberikan fasilitas-fasilitas
yang mendukung, yang tidak didapatkan dari manusia, serta menganugerahinya persahabatan
yang tidak dapat dibandingkan dengan persahabatan dengan manusia. Dalam salah
satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi juga menegaskan,
“... Keridhaan Allah
sudahlah cukup. Jika Dia menjadi kekasihmu, semuanya akan menjadi kekasihmu.
Jika Dia bukan kekasihmu, pujian dari seluruh bumi tidaklah berarti. Kerelaan
dan keridhaan manusia jika dicari melalui perbuatan duniawi lainnya, akan
menggagalkan perbuatan tersebut. Jika mereka tergoda, kemurnian itu akan hilang.”[2]
“Hai jiwa yang
rendah, jika engkau mendapatkan ridha Tuhanmu dengan kasih dan pengabdianmu,
cukuplah hal itu bagimu dan tidak perlu lagi mencari ridha manusia. Jika
manusia setuju dan menerima kepentingan Allah, hal itu adalah baik. Jika mereka
melakukan sesuatu untuk mendapatkan keberkahan dunia, hal itu sama sekali tak
ada nilainya. Karena mereka adalah hamba-hamba yang lemah, sepertimu. Memilih
pilihan kedua di atas berarti kemusyrikan. Jika seseorang melakukan suatu pekerjaan
untuk sultan, hal itu harus diselesaikan. Jika tidak, akan muncul banyak
masalah dan situasi yang sulit. Dalam hal ini, izin sultan adalah kewajiban.
Dan izin ini bergantung pada keridhaannya.”[3]
Menguatkan Hati Nurani
Kata hati adalah kekuatan yang dipercayakan oleh Allah kepada manusia untuk
menunjukkan jalan yang benar kepada mereka. Kata hati mengingatkan manusia akan
setan yang ada di dalam jiwa mereka dan segala macam sikap serta tingkah laku
yang tidak sesuai dengan Al-Qur`an. Kata hati mengilhami seseorang cara untuk
menyenangkan Allah dan berbuat sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Apa pun
kondisinya, seseorang yang mendengarkan suara hatinya akan dapat mencapai
keikhlasan. Keikhlasan berarti kemampuan untuk memakai hati nurani seseorang
seefektif mungkin. Ini juga berarti seseorang tidak boleh mengabaikan kata
hatinya, bahkan di bawah pertentangan pengaruh luar atau nafsu rendahnya.
Karena alasan inilah, seseorang yang berharap untuk mendapatkan keikhlasan,
pertama-tama ia harus menentukan apakah ia memakai hati nuraninya dengan baik
atau tidak. Jika ia menekan kata hatinya terus-menerus, tidak mendengarkan
suaranya, dan secara sengaja menuruti nafsu rendahnya, ia tidak memakai hati
nuraninya sesuai dengan Al-Qur`an. Yang lebih penting lagi, seperti yang
disebutkan di dalam Al-Qur`an, “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas
dirinya sendiri, meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya,” (al-Qiyaamah [75]:
14-15) setiap manusia secara naluri mengetahui bahwa bisikan yang terdengar
di telinganya adalah suara hati nuraninya dan juga alasan-alasan yang ia ajukan
untuk mengabaikan suara tersebut.
Hati nurani adalah berkah dan karunia bagi kemanusiaan. Sebagaimana diungkapkan
oleh Badiuzzaman Said Nursi, “Bahkan, jika pikiran terlena dan menolak hal
itu, hati nurani tidak akan pernah melupakan Penciptanya. Bahkan, jika ia
menafikan kesadarannya, hati nurani melihat-Nya, memikirkan-Nya, dan berjalan
menuju Dia,”[4]
atau “... Sang Pencipta yang memiliki dua jendela dalam setiap hati nurani
akan menyebabkan kecerdasan-Nya selalu dimanifestasikan dalam hati manusia.”[5]
Hati nurani tidak pernah berada dalam ketidaksadaran, bahkan sewaktu orang
tersebut tidak sadar. Hati nurani seseorang selalu tulus dan jujur, dan tidak
pernah menuruti setan, bahkan bila orang tersebut mengikuti setan sekalipun.
Singkatnya, seseorang secara disengaja ataupun tidak dapat melakukan kesalahan,
tetapi hati nuraninya tidak pernah tersesat dari jalan yang lurus dan tidak
pernah melakukan kesalahan.
Bagaimanapun juga, kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya
bisa saja berkurang. Jika seseorang tidak memperhatikan suara hati nurani yang
mengajaknya kepada jalan yang lurus dan ia terbiasa menekan suara itu, ia akan
melemahkan pengaruh kata hatinya dan akan menyebabkan kemampuannya untuk
mendengarkan kata hati itu menjadi tumpul. Meskipun kata hatinya memperingatkan
akan seseorang dan mengajaknya untuk melakukan kebenaran, ia tidak lagi akan
terpengaruh oleh kata hatinya. Orang yang demikian tidak lagi merasakan
kepedihan hati nuraninya saat ia menghancurkan hukum-hukum Al-Qur`an. Ia bisa melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan keridhaan Allah dan mengikuti setan. Ia
melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan Al-Qur`an tanpa perhatian sedikit
pun. Sebagai contoh, selama masa perang, banyak orang merasakan ketidaknyamanan
dan kesulitan yang luar biasa saat mereka melihat perempuan dan anak-anak tak
berdaya mati begitu saja. Mereka ingin berbuat sesuatu untuk menolong mereka.
Akan tetapi, hari-hari selanjutnya, mereka membaca artikel-artikel yang sama
dan melihat pemandangan yang demikian lagi di surah kabar. Hal ini cenderung
menumpulkan hati nurani mereka. Sejak dari itu, berita kematian atau kekejaman
tidak lagi memengaruhinya. Ia tidak lagi merasa khawatir dan tidak lagi
memperhatikan tanggung jawab apa pun. Perubahan ini jelas menandai tumpulnya
hati nuraninya. Meski dalam beberapa hal, ia mungkin saja membicarakan
keikhlasan yang murni.
Untuk mendapatkan keikhlasan, yang pertama dan paling utama, seseorang
harus memastikan bahwa ia peka terhadap hati nuraninya, sebagaimana yang
dituntun oleh Al-Qur`an. Ini hanya mungkin dapat dilakukan melalui rasa takut
kepada Allah yang terus ditingkatkan. Seseorang harus menyadari sedalam mungkin
bahwa Allah mendengar dan melihatnya, di mana pun dan kapan pun. Ia terus
menjaga perbuatannya; dan suatu hari, ia akan mengingat-ingat dan
memperhitungkan perbuatan itu. Ia harus berusaha untuk memahami dengan jelas
bahwa kematian mungkin datang padanya dalam hitungan waktu. Selanjutnya, ia
melihat dirinya menghitung amalannya di hadapan Allah. Ia mungkin dihadapkan
pada pedihya siksa neraka jika ia gagal meningkatkan tingkat akhlaqnya yang
ditunjukkan oleh Allah dan gagal menggunakan hati nuraninya dengan
sebaik-baiknya. Jika ia berhasil membuat hal-hal penting yang diperintahkan
Al-Qur`an ini merasuk ke dalam hatinya, ketumpulan hati nuraninya akan
digantikan dengan kepekaan yang penuh kehati-hatian. Hal ini karena kepekaan
bisa saja membuatnya berlaku ikhlas dengan mendengarkan suara hati nuraninya,
bagaimanapun kondisinya.
[1] Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan
Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21.
[2] Badiuzzaman Said Nursi, Barla Lahikasi
(Surat-Surat Barla), hlm 78.
[3] Badiuzzaman Said Nursi, Mesnevi-i
Nuriye, hlm 215.
[4] Badiuzzaman Said Nursi, Mesnevi-i
Nuriye, hlm 215.
[5] Badiuzzaman Said nursi, Mesnevi-i
Nuriye, hlm 215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar