Meninggalkan
Ambisi untuk Memperoleh
Kekuasaan dan Jabatan
Penyebab lain yang mencegah manusia dari
keinginan menggapai ridha Allah dan berjuang dengan ikhlas demi memperoleh
surga adalah kesenangan yang berlebihan akan nilai–nilai kehidupan duniawi,
seperti kekuasaan, status sosial dan nama baik. Nilai–nilai duniawi seperti itu
sama sekali tidak ada artinya untuk akhirat. Allah memberitahukan bahwa
kelebihan manusia ditentukan berdasarkan tingkat kebajikannya. Sebagaimana
firman-Nya,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki–laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa
dan bersuku–suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat
[49]: 13)
Keyakinan
bahwa kekuasaan dan jabatan termasuk sebuah kelebihan, adalah tipuan yang lazim
terjadi di kalangan orang–orang awam. Namun mukmin sejati yang memahami makna
keimanan, tidak akan berada pada kecenderungan godaan–godaan hawa nafsunya. Ia
bahkan akan mencari kelebihan melalui keikhlasan, dengan cara menyucikan
jiwanya dari keinginan–keinginan tersebuti. Ia akan dilimpahi ketenaran dan
kehormatan sejati. Umat manusia diingatkan akan kenyataan ini dalam salah satu
ayat kitab suci Al–Qur`an,
“Jika kamu menjauhi dosa–dosa besar di antara dosa–dosa yang
dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan–kesalahanmu (dosa–dosamu
yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisaa`
[4]: 31)
Agar layak mendapatkan tempat mulia
tersebut, kita harus memahami kebenaran di bawah ini,
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan maka bagi Allahlah
kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan–perkataan yang baik dan
amal saleh dinaikkan-Nya....” (Faathir [35]: 10)
Allah adalah satu-satunya pemilik
kemuliaan. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan adalah melakukan
amalan–amalan saleh dengan ikhlas.
Dalam karyanya, Badiuzzaman Said Nursi
menyoroti betapa fana kekuasaan duniawi, seperti status dan nama baik, jika
dibandingkan dengan tempat mulia yang dapat diperoleh di akhirat. Ia mengutip
ayat Allah, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang
rendah,” dan ia menyatakan,
“Kita
sangat perlu belajar dengan sungguh–sungguh tentang keikhlasan dalam diri kita
sendiri. Dengan kata lain, apa yang telah kita capai sejauh ini dalam
pengorbanan dan pengabdian kita yang suci akan menjadi bagian yang hilang dan
tidak akan bertahan selamanya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban
atasnya. Kita akan membuktikan ancaman keras yang terkandung pada larangan
Tuhan, “Janganlah
kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” (al-Baqarah
[2]: 41) dan
perusakan keikhlasan, yang akan mengancam kebahagiaan abadi demi kepentingan
yang tiada arti, tiada penting, berbahaya, menyedihkan, mementingkan diri
sendiri, menjemukan, perasaan-perasaan yang berdasar pada kemunafikan, dan
keuntungan yang tidak berarti. Dan perbuatan-perbuatan tersebut juga akan
melanggar hak–hak saudara kita, mengingkari tugas yang ditugaskan oleh
Al–Qur`an, dan menjadi tidak hormat terhadap suci dan benarnya keimanan.”[1]
Keinginan untuk mendapatkan status dan
kekuasaan mencegah seseorang untuk tidak ikhlas dalam beramal serta
menjadikannya tidak jujur. Setiap mukmin sejati harus memperhatikan peringatan
Al–Qur`an ini dan membersihkan jiwanya dari keinginan–keinginan untuk
mendapatkan nama baik dan kemuliaan di dunia. Ia harus berusaha untuk menggapai
keagungan dan kemuliaan bersama Allah.
Sebaliknya, seseorang akan dilalaikan oleh
“persaingan satu sama lainnya untuk saling mengungguli” hingga akhir hayatnya,
sebagaimana dinyatakan dalam ayat,
“Bermegah–megahan telah melalaikan kamu
sampai kamu masuk ke dalam kubur.”
(at-Takaatsur [102]: 1-2)
Ia hanya akan memahami bahwa ajalnya di
akhirat adalah hasil dari menghabiskan tahun demi tahun untuk memenuhi hasrat
hawa nafsunya yang sia-sia. Segala daya dan upaya yang dilakukannya tidak akan
berguna. Lebih baik bagi seorang mukmin untuk menyucikan diri dari keburukan
jiwanya semasih ada waktu untuk memperbaikinya di dunia. Ia akan memperoleh
keikhlasan, yakni sebuah tingkatan akhlaq yang diridhai Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar