Cara Memperoleh Keikhlasan
(bagian 3)
Menumbuhkan
Rasa Takut kepada Allah
Takut
kepada Allah adalah cara yang utama untuk menumbuhkan keikhlasan seseorang. Ia
harus mendedikasikan dirinya kepada Allah dengan kecintaan yang mendalam
setelah memahami kebesaran-Nya, bahwa tidak ada kekuatan lain selain Allah,
bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta dari tiadaan dan yang
memelihara makhluk hidup dengan penuh kasih. Dengan demikian, ia menyadari
bahwa teman sejatinya di dunia dan di akhirat hanyalah Allah. Karena itulah,
keridhaan Allah adalah satu-satunya pengakuan yang harus kita cari. Selain rasa
cinta yang mendalam, ia sangat takut kepada Allah, sebagaimana firman Allah
kepada manusia di dalam ayat-Nya untuk takut dan mengindahkan-Nya,
“... Dan bertaqwalah
kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.”
(al-Baqarah [2]: 203)
Rasa takut
kepada Allah muncul dari pemahaman dan penghargaan akan kebesaran dan
kekuatan-Nya. Seseorang yang memahami kebesaran kuasa Allah dan kekuatan
abadi-Nya, akan mengetahui bahwa ia bisa saja menghadapi murka dan hukuman-Nya
sebagai bagian dari keadilan Ilahi jika ia tidak mampu mengarahkan hidupnya
sesuai dengan keinginan Allah. Kesengsaraan yang disiapkan oleh Allah dalam
kehidupan duniawi dan akhirat untuk mereka yang menafikan-Nya, dirinci di dalam
ayat-ayat Al-Qur`an. Semua manusia diperingatkan untuk mewaspadai hal itu.
Setiap mukmin sejati selalu menyadari akan hal ini. Takut kepada Allah
dilakukan agar ia selalu ingat bahwa kehidupan dunianya cepat atau lambat akan
berakhir dan bahwa semua manusia pada akhirnya harus memperhitungkan perbuatan
mereka di hadapan Allah. Jadi, ia akan selalu menyadari murka Allah. Kesadaran
ini menyebabkan dirinya merasakan takut yang melekat saat menghadapi siksaan
Allah dan karena itu ia berusaha menghindarinya.
Menahan
diri berarti secara tegas menolak untuk melakukan hal-hal yang dilarang dan
tidak diridhai Allah, dan ia tidak menyia-nyiakan kesempatan dalam memenuhi apa
pun yang diperintahkan oleh Allah. Seorang mukmin yang ikhlas merasa takut dan
berhati-hati akan murka Allah. Ia berhati-hati pada sikap apa pun yang tidak
diridhai oleh-Nya dan berusaha menghindarinya. Sebagai contoh, ia akan
menyadari jika sisi jahat jiwanya cenderung kepada keduniawian. Dalam kondisi
demikian, ia akan memakai kekayaan dan kekuasaannya demi kepentingan Allah
untuk mengendalikan kecenderungan batin tersebut. Ini adalah akhlaq sejati yang
paling sesuai dengan keikhlasan. Seseorang yang ingin mendapatkan keikhlasan,
harus segera mengingat perintah Allah untuk “memberikan segalanya di jalan
Allah” dan “takut kepada Allah sebanyak mungkin” untuk menghindari dirinya dari
semua tingkah laku yang tidak disukai Allah. Sebagaimana diperintahkan oleh
Allah, ia harus berbuat untuk Allah, mengabaikan godaan sisi jahat jiwanya.
Ayat berikut menyatakan,
“Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya
kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah [2]: 177)
Allah
memerintahkan manusia untuk takut kepada-Nya, “Maka bertaqwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah....” (at-Taghaabun
[64]: 16) Untuk menjalankan ayat tersebut, seorang mukmin tidak pernah
merasa bahwa iman dan rasa takutnya kepada Allah telah cukup. Ia mencoba untuk
meningkatkan rasa takut dalam hatinya dan kekuatan untuk menahan diri hingga
akhir hidupnya. Berikut ini ayat-ayat Al-Qur`an yang menunjukkan mereka “yang
hidup di dalam pengabdian kepada Tuhan mereka”.
“Sesungguhnya,
orang-orang yang takut kepada Tuhan-Nya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka
akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (al-Mulk [67]: 12)
“... dan mereka takut
kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (ar-Ra’d [13]: 21)
Rasa takut
dan keikhlasan kepada Allah harus dipelihara kedua-duanya. Mukmin sejati
berusaha takut kepada Allah sebanyak mungkin untuk mengikuti ayat yang
disebutkan di atas. Usaha-usaha ini juga merupakan bagian dari keikhlasan.
Jadi, orang-orang beriman dapat menjaga diri dan rasa takutnya kepada Allah,
sebagaimana ditunjukkan dalam ayat,
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran [3]:
102)
Kedalaman
dan kepekaan seseorang yang muncul karena rasa takut kepada Allah menyebabkan
orang tersebut menjadi lebih berhati-hati dan ikhlas. Ia akan dapat melihat apa
saja yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Ia akan memakai kesempatan
itu sebagai orang yang ikhlas. Ayat berikut menyatakan kebenaran itu.
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya....” (al-Maa`idah [5]: 35)
Orang
seperti itu memiliki rasa takut yang mendalam kepada Allah, tidak akan menyerah
saat menjalankan akhlaq Al-Quran. Ia tidak akan pernah melewatkan kesempatan
untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak akan pernah lupa bahwa Allah mendengar
dan melihatnya, selalu dan di mana pun, baik sendiri maupun saat dikelilingi
oleh banyak orang. Ia melakukan sesuatu dengan memahami bahwa ia bisa saja
berhadapan dengan siksaan Allah jika ia tidak berhasil mengadopsi perbuatan dan
sikap yang baik. Ketika rasa takut kepada Allah yang dirasakan oleh seseorang meningkat,
pemahamannya terus-menerus diperkuat. Jadi, ia tidak pernah mengorbankan
keikhlasannya karena ia selalu ingat akan ancaman api neraka sepanjang
hidupnya.
Tidak
Takut kepada Siapa Pun kecuali Allah
Salah satu
tanggung jawab setiap mukmin adalah menyadari kebenaran yang ada di dalam ayat
berikut. Selain itu, mereka bertanggung jawab untuk mencapai tingkatan iman
yang cukup untuk “takut kepada Allah dengan rasa takut yang patut kepada-Nya”.
“Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Mahasuci Tuhan dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (az-Zumar [39]: 67)
Allah
dapat dimuliakan jika seluruh sifat-Nya diketahui dengan baik dan wahyu-wahyu
dari sifat-sifat tersebut tampak dan dipahami dalam setiap detik yang
diberikan-Nya. Seseorang dapat merasa takut kepada Allah dan menahan dirinya,
dan dengan demikian ia mendapatkan keimanan yang tulus, jika ia benar-benar
memahami keluasan kebesaran-Nya.
Seseorang
harus menyadari kebenaran bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar dari Allah,
agar ia dapat memuliakan-Nya dengan sepatutnya. Mereka yang gagal menghargai
Allah dengan sepatutnya, telah tertipu oleh kulit luar kehidupan dunia dan
mendasarkan kehidupan mereka di atas tipuan ini. Mereka cenderung menghargainya
dengan uang, kehormatan, dan kekuasaan yang mereka kira penting menurut
nilai-nilai duniawi. Mereka cenderung untuk menegaskan nilai diri mereka dan salah
mengartikannya sebagai manusia yang memiliki kekuatan dan status, dengan
kemampuan untuk mengendalikan orang lain dan kehidupan. Karena itulah, mereka
berusaha untuk mendapatkan cinta dan penghargaan dari orang lain. Mereka
menghindari kegusaraan diri mereka dan takut menjadi sasaran dari bahaya yang
mungkin mengenai mereka.
Jika Anda
bertanya kepada mereka tentang iman mereka, sebagian mereka mengatakan bahwa
mereka memiliki keimanan kepada Allah. Akan tetapi, orang-orang tersebut yang
mengklaim bahwa mereka mengetahui dan mengakui Allah, cenderung menuhankan
apa-apa yang mereka takuti sebagai sesuatu yang terlepas dari Allah. Pemikiran
yang demikian menimpa keikhlasan ibadah mereka. Bahkan, membawa mereka untuk
bersikap demikian demi untuk mendapatkan ridha orang lain tersebut bahwa mereka
begitu terhormat dan dipuja-puja.
Walaupun
demikian, tidak ada kekuatan lain yang dapat memberikan kebaikan atau keburukan
kepada manusia tanpa seizing Allah. Di dalam ayat-ayat Al-Qur`an, Allah
mengatakan hal ini,
“Dan sungguh jika kamu
bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya
mereka menjawab, ‘Allah.’ Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa
yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku,
apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika
Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’
Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku.’ Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang
berserah diri.” (az-Zumar [39]: 38)
“... Katakanlah, ‘Maka
sipakah (gerangan) yang dapat menghalang-menghalangi kehendak Allah jika Dia
menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu.
Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’” (al-Fat-h [48]: 11)
Untuk
menguatkan kebenaran ini, Allah mengingatkan manusia untuk tidak takut kepada
apa pun selain Dia,
“... Maka janganlah
kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan
nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (al-Baqarah [2]: 150)
Tingkatan
ajaran moral yang membantu seseorang untuk mendapatkan keimanan dan keikhlasan
yang murni ini dapat dipelajari dari diri para nabi. Dalam Al-Qur`an telah
ditekankan bahwa para nabi tidak takut kepada apa pun kecuali Allah. Ayat
berikut menggarisbawahi fakta ini.
“Yaitu orang-orang
yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka
tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai Pembuat Perhitungan.” (al-Ahzab [33]: 39)
Setiap
manusia yang berhasil memberikan hak Allah akan mengetahui bahwa tidak ada
kekuatan lain selain Allah dan ia tidak pernah takut kepada siapa pun kecuali
Dia. Ia juga mengetahui bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi tanpa
seizin-Nya. Pemahaman ini membuat ia terus-menerus menyembah Allah dengan cara
yang murni, tulus, dan bersih. Jika ia melakukan perbuatan baik, ia
melakukannya bukan karena takut akan reaksi orang lain, melainkan karena ia
akan gagal memenuhi perintah Allah jika ia tidak tulus. Demikian pula, ia
melakukan perbuatan atau bersikap apa pun, bukan karena ia akan dihadapkan pada
kemarahan orang lain, melainkan karena ia ingin mendapatkan kasih sayang Allah
dan menghindari hukuman-Nya.
Sebagai
contoh, ketika orang yang bekerja pada sebuah kantor diminta menyumbang untuk
sebuah yayasan amal, sebagian orang akan melihat kesempatan tersebut sebagai
kewajiban moral Al-Qur`an dan mereka menyumbang secara murni karena takut
kepada Allah. Sementara itu, orang lain yang akan menyumbangkan uang berpikir
bahwa teman-temannya mungkin akan berkata, “Betapa pelitnya dia!”, atau
jika ia tidak menyumbang, “ia satu-satunya orang yang tidak menyumbang!,”
atau, “ia mungkin tidak punya uang.” Mereka merasa terpaksa
melakukannya karena mereka tidak ingin disangka negatif oleh orang lain. Sudah
pasti, balasan terhadap amal orang tersebut di hadapan Allah akan sangat jauh
dari balasan terhadap amal orang-orang yang ikhlas. Mereka telah menodai keikhlasan
mereka dan telah menyimpang dari ajaran moral Al-Qur`an. Bagaimanapun juga,
mereka yang berbuat sesuatu karena takut kepada Allah, berharap untuk dibalas
hanya oleh-Nya.
Perbedaan antara mereka yang takut kepada Allah dan mereka yang takut
kepada selain-Nya dapat dilihat pada saat kondisi yang tidak menguntungkan.
Sebagai contoh, mari kita perhatikan seseorang yang biasa memanfaatkan
keuntungan yang tidak adil di kantornya. Orang tersebut tetap tidak menggubris
ketika diingatkan bahwa perbuatannya tidak akan diterima oleh Allah, tetapi ia
akan segera berhenti berbuat demikian jika ia diingatkan bahwa perbuatan
amoralnya itu akan terlihat oleh rekan dan kerabatnya. Walaupun demikian, ia
selalu memiliki kesempatan untuk dapat membuat perubahan terhadap apa yang
dilakukannya. Jika ia menyesali dengan tulus dan mengoreksi cara berpikirnya,
ia mungkin bisa ikhlas melakukan sesuatu. Penting bagi setiap orang yang ingin
berbuat ikhlas untuk memperhatikan cara yang benar sebagaimana contoh-contoh
ini. Kami telah memberikan macam-macam kondisi yang biasanya kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, ia harus memantau dirinya sendiri. Jika
ia takut kepada makhluk selain Allah, ia harus membersihkan dirinya dari rasa
takut tersebut jika ia ingin mencapai keikhlasan.
Berjuang Sekuat-kuatnya Demi Keridhaan Allah
Seseorang yang ingin bersikap ikhlas dalam situasi apa pun, dihadapkan pada
keharusan berjuang untuk mendapatkan keridhaan Allah. Perintah Allah tentang
hal ini disebutkan di dalam ayat,
“... maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.” (al-Maa`idah [5]: 48)
Ayat lainnya menyatakan,
“Kemudian Kitab itu
Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,
lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara
mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat
berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar.” (Faathir [35]: 32)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, ada orang-orang yang “ambivalen”
meski mereka percaya kepada Allah dan ada pula orang-orang “yang saling
mengalahkan dalam kebaikan”. Seorang muslim yang ikhlas akan berusaha untuk
bersegera dalam perbuatan baik. Dalam setiap detik hidupnya, ia berjuang untuk
melakukan apa-apa yang membuat Allah ridha dan senang. Ia menggunakan semua
yang ia miliki untuk menjadi salah satu hambanya yang saleh.
Perbedaan antara mereka yang ambilaven dan mereka yang berlomba satu sama
lain dalam kebaikan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Seseorang dihadapkan
pada banyak peristiwa sepanjang hidupnya. Ia selalu dihadapkan pada banyak
pilihan. Ia harus memutuskan bagaimana berhadapan dengan masalah tersebut, apa
yang harus dilakukan, dan sikap moral apa yang harus diterapkan? Pilihannya
bergantung sepenuhnya pada kesadaran hatinya. Seorang mukmin sejati sangat
berhati-hati dan waspada terhadap pilihan-pilihan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
agama tersebut. Jadi, ia menolak pilihan itu tanpa syarat dan akan mengambil
yang paling dekat dengan Allah serta mendapatkan balasan yang paling besar di
dalam surga. Kemampuannya untuk mematuhi kesadaran hatinya saat membuat
keputusan adalah apa yang membuatnya mendapatkan keikhlasan. Di dalam
Al-Qur`an, orang-orang beriman yang paling utama dalam perbuatan baik
diabadikan dalam ayat,
“Sesungguhnya, orang
yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang
beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena
mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka
itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang
yang segera memperolehnya.” (al-Mu`minuun [23]: 57-61)
Terlebih lagi, jika seseorang dihadapkan pada ribuan pilihan, mudah baginya
untuk mengenal pilihan mana yang membuat Allah ridha dan senang. Pilihan ini
jelas dan menjadi bukti bagi orang yang mencari cara mendekati Allah dan
melihat apa yang terjadi padanya dengan kacamata keimanan. Sebagai contoh,
ketika seseorang dipaksa untuk memilih sebuah cara untuk menghabiskan waktunya,
ia akan dihadapkan pada sejumlah alternatif. Ia dapat menghabiskan seluruh
waktunya untuk kegiatan olah raga atau menonton televisi di rumah. Ia bisa
mengatakan bahwa aktivitas-aktivitas tersebut menyenangkan Allah karena olah raga
penting untuk kesehatan, sedangkan menonton televisi itu menambah
pengetahuannya. Tentu saja, berolah raga dan menonton televisi itu bermanfaat
dan penting. Akan tetapi, menghabiskan satu hari untuk berolah raga atau
menonton televisi tidak dapat dinilai berhati-hati bagi seorang mukmin sejati
jika ia menyadari bagaimana pola hidup-pola hidup yang tidak religius menjadi
semakin lazim setiap hari; sementara perempuan, orang tua-orang tua, dan
anak-anak sedang berada di bawah bayang-bayang pembunuhan di wilayah-wilayah
muslim hanya karena mereka mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” peperangan,
pertempuran, dan degenerasi moral terjadi di mana-mana. Tak diragukan lagi,
menyebarkan kesempurnaan ajaran moral Al-Qur`an kepada orang lain dan berusaha
menjadi alat supaya mereka bisa mendapatkan balasan di hari akhir, menjadi
aktivitas yang selalu diinginkan olehnya. Ini adalah tanggung jawab yang harus
dipikirkan oleh setiap muslim. Semua yang memilih alternatif ini akan melakukan
amal saleh dan pengabdian agama demi kehidupannya di hari kemudian. Tetapi
selain itu, ia juga akan mendapatkan balasan yang amat menyenangkan karena
menjalankan agama sesuai dengan ketetapan ayat-ayat Al-Qur`an, seperti yang
menjadi alat penyelamat bagi orang lain.
Allah menawarkan contoh berikut.
“Apakah (orang-orang)
yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus
Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah;
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan.” (at-Taubah [9]: 19-20)
Seperti yang dinyatakan dalam ayat ini, memberi air untuk orang-orang yang
sedang berhaji atau menjaga Masjidil Haram juga merupakan perbuatan baik yang
tepat untuk mendapatkan keridhaan Allah. Bagaimanapun juga, harus ditekankan
bahwa orang-orang beriman yang membatasi tugas-tugas agama pada tugas-tugas
tertentu saja—meski memiliki tanggung jawab lainnya—tidak boleh berpikir bahwa
perbuatan itu cukup. Perbuatan ini tidak cukup jika dibandingkan dengan
perbuatan orang lain yang berjuang dengan mengorbankan harta milik mereka dan
hidup karena Allah. Bukanlah merupakan keikhlasan, memilih perbuatan yang
kurang patut dihargai saat orang lain berpikir bahwa ada yang lebih sesuai
dengan nilai moral Al-Qur`an. Ini menunjukkan bahwa ia semata-mata hanya peduli
pada kenyamanan dan keamanan dirinya saja. Bagaimanapun juga, memilih
kesempatan untuk mendapatkan keridhaan Allah atas hal-hal yang ada di dunia
ini, merupakan pilihan yang sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Kesulitan tingkat
amalan yang berseberangan dengan keinginan seseorang tidaklah penting.
Pemahaman yang demikian memberikan keikhlasan kepada seorang mukmin sejati.
Demikian pula amalan-amalan saleh, semua itu membawanya menuju keridhaan Allah,
kasih sayang, dan balasan-Nya di dalam surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar