Seperti Apakah Orang yang Benar Itu? (bagian 4)
Patuh Mengabdi kepada Allah
Allah menggarisbawahi
pentingnya kualitas ketundukan bagi orang beriman,
“Katakanlah (hai
orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkannya
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan
anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang
pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’” (al-Baqarah [2]:
136)
Keikhlasan sejati
membutuhkan ketundukan dengan penyerahan total kepada Allah. Akan tetapi,
ketundukan ini haruslah tidak bersyarat. Seseorang yang ridha kepada ketentuan
Allah, tetapi hanya bersyukur dan berserah diri kepada Allah dalam kondisi
tertentu saja, tidak dapat dikatakan berserah diri jika ia menjadi pemberontak
dan tidak patuh saat kondisinya berubah. Sebagai contoh, orang yang memiliki
hubungan bisnis yang baik dan mendapatkan sejumlah uang. Ia sering kali
mengatakan bahwa Allahlah yang mengizinkan kondisi kekayaan dan
keberuntungannya. Tetapi saat segalanya memburuk, ia tiba-tiba berbalik dan
melupakan kepatuhannya kepada Allah. Sifatnya tiba-tiba berubah dan ia mulai
mengeluh terus-menerus dan mengatakan bahwa ia adalah orang yang baik, bahwa ia
tidak seharusnya mendapat musibah, dan ia tidak mengerti sama sekali mengapa
segalanya terjadi demikian buruk. Ia bahkan melewati batas dan mulai
menyalahkan Allah dengan melupakan bahwa takdir selalu berjalan sesuai dengan apa
yang terbaik. Ia mungkin saja bertanya-tanya pada dirinya akan pertanyaan yang
tidak ada hubungannya, seperti: mengapa segala sesuatunya berjalan seperti
ini? mengapa semua ini terjadi pada saya?
Memercayai Allah tanpa
mempedulikan apakah yang terjadi pada diri kita itu baik atau buruk, atau
apakah kejadian itu tampaknya menolong atau menjatuhkan, adalah sangat bernilai
di mata Allah. Meskipun hanya dengan apa yang tampak dari luar, seseorang
haruslah tunduk dengan menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan dengan
kebaikan dan kebijaksanaan.
“Jika kamu (pada
Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang
Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami
pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya
Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya
sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang zalim.” (Ali Imran [3]: 140)
Jadi, semua kesulitan dan
masalah itu terjadi sebagai cobaan untuk menentukan siapa yang tetap teguh
dalam kesucian diri dan ketundukan kepada Allah.
Mereka yang percaya
dengan tulus ikhlas tidak pernah meragukan kebaikan yang tak terbatas atas apa
yang terjadi dan selalu percaya kepada Allah dalam kepatuhan total. Mereka
menyadari bahwa ini adalah semata-mata ujian. Keimanan mereka tidaklah
bersyarat. Keimanan yang teguh dan kuatlah yang mengelilingi segala macam
kesulitan yang dihadapi seseorang. Mereka menyerahkan diri kepada Allah tanpa
mencari balasan duniawi. Di dalam Al-Qur`an, sikap yang telah ditetapkan atas
mukmin sejati untuk kepasrahan total kepada Allah ini telah ditekankan sebagai
berikut.
“Ketika Tuhannya
berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam.’” (al-Baqarah [2]: 131)
Dalam ayat lainnya, Allah
mengatakan bahwa agama yang paling mulia adalah agama yang diserap oleh mereka
yang menyerahkan diri kepada Allah dan hanya percaya kepada-Nya. Allah
menggarisbawahi pentingnya kepatuhan yang tidak bersyarat ini,
“Dan siapakah yang
lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan dia mengikuti agama Ibrahim
yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangannya.” (an-Nisaa` [4]:
125)
Nabi saw. juga mengatakan
hal yang sama,
“... Orang paling
beruntung yang akan memiliki syafaatku di hari perhitungan adalah orang-orang
yang mengatakan, ‘Tak ada sesuatu pun yang layak disembah selain Allah,’ tulus
dari dalam hatinya.”[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar