Mekanisme
Penggambaran dari Teori Evolusi
Poin penting kedua adalah bahwa kedua konsep yang
dikemukakan teori ini sebagai “mekanisme evolusioner”, pada realitasnya
dipahami tidak mempunyai kekuatan evolusioner.
Darwin mendasarkan seluruh pemunculan teori
evolusinya pada mekanisme “seleksi alam”, yang berpandangan bahwa
makhluk-makhluk hidup yang lebih kuat dan lebih pandai menyesuaikan diri dengan
kondisi alam pada habitatnya, akan dapat bertahan hidup dengan segala
perjuangannya. Contohnya, sekawanan rusa akan terdiri atas individu-individu
yang lebih cepat dan lebih kuat. Akan tetapi, satu hal yang tidak dapat
dipertanyakan, mekanisme ini tidak akan menyebabkan rusa-rusa tersebut
berkembang dan mentransformasi diri mereka menjadi spesies hidup yang berbeda,
misalnya, menjadi kuda.
Karena itu, mekanisme seleksi alam tidaklah
mempunyai kekuatan evolusioner. Darwin juga menyadari fakta ini dan menyatakan
dalam bukunya, The Origin of Species,
“Seleksi alam tidak dapat melakukan apa
pun hingga berbagai variasi yang menguntungkan bisa terjadi.”[1]
Pengaruh Lamarck
Bila demikian, bagaimana “variasi-variasi yang
menguntungkan” ini dapat terjadi? Darwin telah mencoba menjawab pertanyaan ini
dari sudut pandang pemahaman primitif sains pada masanya. Menurut seorang ahli
biologi Prancis bernama Lamarck, yang hidup sebelum Darwin, makhluk hidup
bertahan hidup melalui sifat-sifat yang dimiliki selama hidupnya sampai
generasi berikutnya dan sifat-sifat ini, yang berakumulasi dari satu generasi
ke generasi berikutnya, menyebabkan terbentuknya spesies-spesies baru.
Misalnya, menurut Lamarck, jerapah berkembang dari antelop; seiring dengan
perjuangan mereka untuk memakan dedaunan pada pohon yang tinggi, leher mereka
memanjang dari generasi ke generasi.
Akan tetapi, hukum-hukum keturunan yang ditemukan
oleh Mendel dan diverifikasi oleh ilmu genetika yang berkembang pada abad kedua
puluh, membongkar legenda tersebut sehabis-habisnya bahwa sifat-sifat yang
dimiliki diwariskan pada generasi berikutnya. Akibatnya, seleksi alam telah
gagal menjadi suatu mekanisme evolusioner.
Neo-Darwinisme dan
Mutasi
Agar dapat menemukan suatu solusi, para Darwinis
mengembangkan “Teori Sintetis Modern” (Neo-Darwinisme), pada akhir tahun
1930-an. Neo-Darwinisme menambahkan mutasi, yang merupakan berbagai distorsi
yang dibentuk dalam gen-gen makhluk hidup karena faktor-faktor eksternal
seperti radiasi atau kesalahan-kesalahan replikasi, sebagai “penyebab dari
beragam variasi yang menguntungkan” yang merupakan tambahan bagi mutasi alam.
Dewasa ini, model yang mendukung teori evolusi di
dunia adalah Neo-Darwinisme. Menurut teori tersebut, jutaan makhluk hidup yang
ada di muka bumi ini terbentuk sebagai hasil dari suatu proses di mana
organ-organ yang sangat kompleks dari organisme-organisme ini, seperti telinga,
mata, paru-paru, dan sayap, mengalami “mutasi”, yaitu kekacauan-kekacauan
genetika. Akan tetapi, ada satu fakta saintifik yang sama sekali palsu yang
secara keseluruhan meruntuhkan teori ini, yaitu: mutasi tidak menyebabkan
makhluk hidup berkembang; sebaliknya, mutasi selalu menyebabkan kerusakan
kepada makhluk tersebut.
Alasan untuk ini sangatlah sederhana: DNA mempunyai
suatu struktur yang kompleks dan pengaruh-pengaruh acak hanya dapat mengakibatkan
kerusakan padanya.
Tidak mengherankan, tidak ada contoh dari mutasi
yang berguna, karena yang diobservasi untuk mengembangkan sandi genetika telah
diobservasi sejauh ini. Semua mutasi telah terbukti merusak. Karenanya, dipahami
bahwa mutasi, yang dipresentasikan sebagai “mekanisme evolusioner”, sebenarnya
adalah suatu peristiwa genetika yang merusak makhluk hidup dan menyebabkan
mereka tidak berguna (pengaruh yang paling umum dari mutasi terhadap umat
manusia adalah kanker). Sebaliknya, seleksi alam “tidak dapat melakukan apa pun
oleh dirinya” sebagaimana hal ini juga diterima oleh Darwin. Fakta ini
menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada “mekanisme evolusioner” di alam. Karena
tidak ada mekanisme evolusioner yang eksis, tidak juga terdapat proses imajiner
yang disebut teori evolusi yang telah dikemukakan.
Catatan Fosil:
Tidak Ada Tanda Bentuk-Bentuk Transisi
Bukti yang paling jelas bahwa skenario yang
dikemukakan oleh teori evolusi tidak mendapatkan tempat adalah catatan fosil.
Menurut teori evolusi, setiap spesies telah tertutup
dari pendahulunya. Suatu spesies yang ada sebelumnya telah berubah menjadi
sesuatu yang lain dalam satu waktu dan semua spesies menjadi seperti itu dengan
cara seperti ini. Menurut teori evolusi, transformasi ini berproses secara
bertahap selama berjuta-juta tahun.
Misalnya, beberapa ekor hewan setengah ikan dan
setengah reptil seharusnya telah hidup di masa lampau, yang mempunyai beberapa
sifat reptil sebagai tambahan terhadap sifat ikan yang telah ada. Karena hal
ini akan menjadi sebuah fase transisi, mereka seharusnya adalah makhluk yang
tidak mampu melakukan apa pun, defektif, dan lumpuh. Para evolusionis merujuk
kepada makhluk-makhluk imajiner ini, yang mereka yakini telah hidup di masa
lampau, sebagai “bentuk transisi”.
Jika hewan-hewan seperti itu benar-benar telah ada
sebelumnya, seharusnya jumlah mereka pastilah sangat besar, jutaan, bahkan
miliaran hewan, dan varietasnya juga pastilah banyak. Yang lebih penting,
peninggalan dari makhluk-makhluk yang aneh ini pun seharusnya ada dalam catatan
fosil. Dalam The Origin of Species, Darwin telah menerangkan,
“Jika teori saya ini benar, sekian
banyak varietas lanjutan, yang berhubungan paling dekat dengan semua spesies
pada kelompok yang sama, harusnya dipastikan pernah ada.... Konsekuensinya,
bukti dari keberadaan mereka dapat ditemukan hanya di antara
peninggalan-peninggalan fosil.”[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar