Cara Memperoleh Keikhlasan
(bagian 6)
Meninggalkan Ambisi untuk Memperoleh Kekuasaan dan Jabatan
Penyebab lain yang
mencegah manusia dari keinginan menggapai ridha Allah dan berjuang dengan
ikhlas demi memperoleh surga adalah kesenangan yang berlebihan akan nilai–nilai
kehidupan duniawi, seperti kekuasaan, status sosial dan nama baik. Nilai–nilai
duniawi seperti itu sama sekali tidak ada artinya untuk akhirat. Allah
memberitahukan bahwa kelebihan manusia ditentukan berdasarkan tingkat
kebajikannya. Sebagaimana firman-Nya,
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki–laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku–suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]: 13)
Keyakinan
bahwa kekuasaan dan jabatan termasuk sebuah kelebihan, adalah tipuan yang lazim
terjadi di kalangan orang–orang awam. Namun mukmin sejati yang memahami makna
keimanan, tidak akan berada pada kecenderungan godaan–godaan hawa nafsunya. Ia
bahkan akan mencari kelebihan melalui keikhlasan, dengan cara menyucikan
jiwanya dari keinginan–keinginan tersebuti. Ia akan dilimpahi ketenaran dan
kehormatan sejati. Umat manusia diingatkan akan kenyataan ini dalam salah satu
ayat kitab suci Al–Qur`an,
“Jika kamu menjauhi
dosa–dosa besar di antara dosa–dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya
Kami hapus kesalahan–kesalahanmu (dosa–dosamu yang kecil) dan Kami masukkan
kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisaa` [4]: 31)
Agar layak mendapatkan
tempat mulia tersebut, kita harus memahami kebenaran di bawah ini,
“Barangsiapa yang
menghendaki kemuliaan maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah
naik perkataan–perkataan yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya....” (Faathir
[35]: 10)
Allah adalah satu-satunya
pemilik kemuliaan. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan adalah melakukan
amalan–amalan saleh dengan ikhlas.
Dalam karyanya,
Badiuzzaman Said Nursi menyoroti betapa fana kekuasaan duniawi, seperti status
dan nama baik, jika dibandingkan dengan tempat mulia yang dapat diperoleh di
akhirat. Ia mengutip ayat Allah, “Janganlah kamu menukarkan
ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” dan ia menyatakan,
“Kita sangat
perlu belajar dengan sungguh–sungguh tentang keikhlasan dalam diri kita
sendiri. Dengan kata lain, apa yang telah kita capai sejauh ini dalam
pengorbanan dan pengabdian kita yang suci akan menjadi bagian yang hilang dan
tidak akan bertahan selamanya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban
atasnya. Kita akan membuktikan ancaman keras yang terkandung pada larangan
Tuhan, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan
harga yang rendah,” (al-Baqarah [2]: 41)
dan
perusakan keikhlasan, yang akan mengancam kebahagiaan abadi demi kepentingan
yang tiada arti, tiada penting, berbahaya, menyedihkan, mementingkan diri
sendiri, menjemukan, perasaan-perasaan yang berdasar pada kemunafikan, dan
keuntungan yang tidak berarti. Dan perbuatan-perbuatan tersebut juga akan
melanggar hak–hak saudara kita, mengingkari tugas yang ditugaskan oleh
Al–Qur`an, dan menjadi tidak hormat terhadap suci dan benarnya keimanan.”[1]
Keinginan untuk
mendapatkan status dan kekuasaan mencegah seseorang untuk tidak ikhlas dalam
beramal serta menjadikannya tidak jujur. Setiap mukmin sejati harus memperhatikan
peringatan Al–Qur`an ini dan membersihkan jiwanya dari keinginan–keinginan
untuk mendapatkan nama baik dan kemuliaan di dunia. Ia harus berusaha untuk
menggapai keagungan dan kemuliaan bersama Allah.
Sebaliknya, seseorang
akan dilalaikan oleh “persaingan satu sama lainnya untuk saling mengungguli”
hingga akhir hayatnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat,
“Bermegah–megahan
telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.”
(at-Takaatsur [102]: 1-2)
Ia hanya akan memahami
bahwa ajalnya di akhirat adalah hasil dari menghabiskan tahun demi tahun untuk
memenuhi hasrat hawa nafsunya yang sia-sia. Segala daya dan upaya yang
dilakukannya tidak akan berguna. Lebih baik bagi seorang mukmin untuk
menyucikan diri dari keburukan jiwanya semasih ada waktu untuk memperbaikinya
di dunia. Ia akan memperoleh keikhlasan, yakni sebuah tingkatan akhlaq yang
diridhai Allah.
Tidak Cemas akan Kekayaan
dan Hidup Seseorang
Kecenderungan buruk hawa
nafsu adalah cinta yang berlebihan terhadap harta benda dan keindahan jasmani.
Akan tetapi, harta benda dan keindahan fisik tidak diciptakan untuk dicintai
secara berlebihan, tetapi sebagai ujian bagi manusia dalam kehidupan dunia ini.
Sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran,
“Kamu sungguh–sungguh
akan di uji terhadap hartamu dan dirimu....” (Ali Imran [3]: 186)
Allah menjanjikan balasan
surga bagi mereka yang lebih suka mengorbankan hartanya demi menggapai ridha
Allah daripada terobsesi mengejar harta dunia. Allah menjelaskan kepada umat
manusia bahwa mereka sebaiknya bersikap demikian demi memperoleh kebahagiaan
dan keberhasilan di akhirat sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya, Allah
telah membeli dari orang–orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh
atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil, dan Al–Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan
itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah [9]: 111)
Seorang mukmin sejati
yang sadar dan yakin kepada janji Allah, tidak akan mengikuti kecondongan hawa
nafsunya. Dengan demikian, tidak ada yang dapat diraih melalui harta dan usaha
pribadi dalam kehidupan dunia jika dibandingkan dengan keberkahan di akhirat.
Karena itu, Allah memerintahkan manusia untuk “bergembira dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu”.
Manusia
ditakdirkan untuk menikmati keberkahan di dunia ini hanya dalam waktu singkat. Karena
seungguhnya keberkahan yang dilimpahkan Allah di akhirat adalah makna
sebenarnya bagi pencapaian kebahagiaan dan keberhasilan
Jika seseorang cemas akan
harta benda dan kehidupannya, tidak mungkin baginya mendekatkan diri kepada
Allah dengan hati yang tulus, menundukkan dirinya di hadapan Allah. Nafsu–nafsu
yang tersembunyi dalam jiwanya akan mengarahkannya secara sembunyi-sembunyi dan
menyebabkannya bertindak demi kepentingan dirinya sendiri daripada berusaha
menggapai ridha Allah. Seperti yang Allah jelaskan pada ayat di bawah ini, yang
lebih mewakili keikhlasan adalah rela memberikan atau menyedekahkan hartanya
kepada orang lain, sekalipun dengan ini berarti ia tidak akan memiliki apa–apa,
“Dan orang–orang yang
telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr [59]: 9)
Begitu pula keinginan
pribadinya yang akan memalingkan perhatiannya demi menggapai ridha Allah. Allah
menjelaskan kepada kita dalam kitab suci Al–Qur`an bahwa pilihan seperti itu
hanya akan mendatangkan aib,
“Katakanlah, ‘Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara– saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di Jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.” (at-Taubah [9]: 24)
Sebagaimana telah
diuraikan oleh Allah, kekayaan seseorang tidak akan berguna di akhirat,
Hanyalah mereka yang
ikhlas yang akan diganjar dengan keberkahan yang tiada akhir dan kekal,
“Dan kelak akan
dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya
(di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun
memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan
itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak
dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail [92]: 17-21)
Sikap yang dimiliki para
mukmin sejati--sebagaimana dilukiskan pada ayat yang dikutip di bawah
ini--adalah bahwa yang mewakili keikhlasan sesungguhnya adalah,
“Tetapi Rasul dan
orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri
mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka
itulah (pula) orang-orang yang beruntung.” (at-Taubah [9]: 88)
Orang-orang beriman akan
berjihad dengan harta dan dirinya demi mendapatkan ridha Allah. Pada salah satu
ayat-Nya, Allah mengabarkan berita gembira bagi orang-orang beriman bahwa
mereka yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka dan mereka
yang mengakui adanya kepentingan besar demi ridha Allah, akan mendapatkan
derajat yang tinggi di sisi Tuhannya. Sebagaimana dinyatakan dalam surah
an-Nisaa`,
“Tidaklah sama antara
mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak memiliki uzur dan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang
yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang
yang duduk dengan pahala besar.” (an-Nisaa` [4]: 95)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar