Bahasa Indonesia Keilmuan
Perusakan
Lingkungan sebagai Tindak Kekerasan
Oleh : Bakhrul Rizky K. ( BB / 110321406354 )
Berawal dari
peristiwa eksploitasi kekayaan alam yang tidak menyejahterakan masyarakat
setempat, sehingga masyarakat berdemonstrasi, kemudian terjadi konflik fisik
antara masyarakat dan aparat keamanan. Ketika muncul pertanyaan, “Manakah yang
termasuk tindak kekerasan?” Banyak orang dengan mudah akan menjawab bahwa konflik
fisik tersebut merupakan tindak kekerasan, sedangkan eksplorasi kekayaan alam
seperti itu hanya dilihat sebagai kesalahan kebijakan oknum terkait.
Kekerasan seringkali dipahami secara sempit sebagai
perilaku satu manusia terhadap manusia lain atau sekelompok manusia terhadap
manusia lain untuk mempertahankan kekuasaan atau eksistensi manusia atau
kelompok manusia tersebut, sedangkan kekerasan terhadap alam atau lingkungan
hidup tidak dianggap sebagai kekerasan. Jika kekerasan hanya dipahami dalam sudut
pandang yang sempit seperti itu, maka perusakan lingkungan hidup tidak akan pernah
dipandang sebagai tindakan yang mengancam keselamatan manusia.
Keselamatan manusia pada masa mendatang hanya menjadi
sesuatu yang diasumsikan, diangankan, atau diandaikan terjadi. Ia hanya ilusi.
Bukan sesuatu yang dipastikan terwujud. Sebab, masa depan sejatinya merupakan sesuatu
yang belum pasti. Kepastian hanya ada pada masa kini atau bahkan hari ini. Oleh
karena itulah, apa yang bisa diperoleh atau dinikmati dari alam harus
diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini atau bahkan hari
ini tanpa peduli apakah prioritas tersebut akan mengancam keselamatan generasi
penerus atau tidak. Yang terpenting, manusia masa kini atau hari ini selamat.
Sebab, tanpa masa kini atau hari ini, tidak akan ada masa depan.
Keadaan seperti itulah yang menyebabkan eksplorasi
kekayaan alam berubah menjadi eksploitasi kekayaan alam yang tidak akan pernah
dianggap sebagai tindakan kekerasan. Begitu pula dengan perilaku yang tidak
menunjukkan keramahan pada alam, seperti menebang pohon dan membunuh satwa di
hutan lindung, pembalakan liar atau illegal logging, pembuangan limbah pabrik
ke sungai secara sembarangan, pencemaran udara, pemanfaatan kertas yang
berlebihan, serta pembangunan gedung yang penuh dengan kaca.
Padahal, dalam konteks lingkungan dan pembangunan,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan bahwa salah satu prinsip kunci
pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengesampingkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri. Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya perlu dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang
maupun mendatang.
Namun jika kita tidak dapat bertindak untuk melindungi
bumi, air, dan kekayaan alam, dampak yang akan kita tanggung akan menjadi
begitu langsung dan menekan dikarenakan konsekuensinya yang begitu besar.
Anak-cucu kita pada masa mendatang pun akan membayar jauh lebih mahal karena
beban yang kita wariskan begitu berat, yakni kerusakan alam yang sangat parah.
Jika perilaku yang berhubungan langsung dengan alam
atau lingkungan hidup saja tidak dianggap sebagai tindakan kekerasan, apalagi
perilaku yang tak berkaitan langsung. Padahal, perilaku tersebut juga dapat mengancam
keselamatan manusia masa kini sekaligus masa depan. Misalnya saja konsep
pembangunan dan produksi yang eksploitatif, korupsi dana reboisasi, korupsi
dana penanganan bencana alam atau banjir, penyuapan atau penyogokan dalam kasus
pelanggaran peraturan lingkungan hidup, kelalaian dalam pengawasan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, serta kelalaian dalam pengantisipasian
kemungkinan terjadinya bencana alam atau banjir.
Kini sudah saatnya setiap perilaku yang tidak ramah
lingkungan ditempatkan sebagai tindakan kekerasan dalam perspektif yang luas
sebagaimana dipahami Johan Galtung. Beliau menggabungkan tersedianya fasilitas
dan mobilitas dengan kemauan baik untuk mengatasi kekerasan. Bila wawasan,
sumber daya, dan hasil kemajuan disalahgunakan untuk tujuan lain atau
dimonopoli segelintir orang saja, ada kekerasan dalam sistem tersebut. Misalnya,
banjir yang rutin terjadi di negeri ini. Hujan yang menjadi salah satu penyebab
banjir memang tidak dapat dipastikan kapan turunnya, namun kita mengenal
rentang masa ketika hujan biasa luruh ke bumi. Kita juga memahami
wilayah-wilayah yang rutin dilanda banjir. Kita juga mafhum bahwa tidak
biasanya masyarakat membuat sampah di tempatnya turut berpotensi mengundang
banjir. Kalau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tak langsung dapat
memicu terjadinya banjir kurang atau tidak diantisipasi atau bahkan dibiarkan,
pada saat yang sama, kekerasan telah dimulai. Ketika banjir meratakan banyak
wilayah serta berbagai alasan langsung dan tak langsung menunjukkan
ketidakmampuan penanganan bencana banjir.
Seharusnya kini setiap perusak alam atau lingkungan
tidak hanya dikenai sanksi administratif, penjara 1-15 tahun, dan denda Rp500
juta-Rp15 miliar sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
namunseharusnya dikenai sanksi atau hukuman lebih berat. Kebijakan ini sangat
beralasan, karena taruhannya bukan hanya manusia dan makhluk hidup masa kini,
tapi juga manusia dan makhluk hidup pada masa mendatang.
Sanksi sosial pun dapat ditimpakan kepada perusak alam
atau lingkungan hidup. Hanya saja semua itu memerlukan waktu yang panjang
lantaran selama ini masyarakat tidak menempatkan perusakan alam atau lingkungan
dalam sudut pandang kekerasan. Oleh sebab itulah, penanaman kesadaran terhadap
setiap pemimpin setiap agen atau calon agen perubahan, dan setiap generasi
penerus menjadi sangat penting.
Di sisi lain, setiap individu atau lembaga yang
berperilaku atau berkontribusi pada upaya-upaya pelestarian alam juga harus diapresiasi.
Misalnya saja dengan pemberian insentif pajak terhadap perusahaan atau insitusi
yang intens melakukan kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan, pengurangan
tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) atau pemberlakukan tarif PBB yang berbeda
terhadap pemilik tanah dan bangunan yang berperilaku ramah lingkungan.
Peyerahan Anugerah Kalpataru kepada
aktifis pelestarian alam, sehingga mampu mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang
lebih sederhana, namun membumi dan inspiratif.
`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar