Seminar Nasional Pendidikan IPA 2016

Rabu, 04 Juli 2012

BIK : Perusakan Lingkungan sebagai Tindak Kekerasan


Bahasa Indonesia Keilmuan

Perusakan Lingkungan sebagai Tindak Kekerasan

Oleh : Bakhrul Rizky K. ( BB / 110321406354 )
Berawal dari peristiwa eksploitasi kekayaan alam yang tidak menyejahterakan masyarakat setempat, sehingga masyarakat berdemonstrasi, kemudian terjadi konflik fisik antara masyarakat dan aparat keamanan. Ketika muncul pertanyaan, “Manakah yang termasuk tindak kekerasan?” Banyak orang dengan mudah akan menjawab bahwa konflik fisik tersebut merupakan tindak kekerasan, sedangkan eksplorasi kekayaan alam seperti itu hanya dilihat sebagai kesalahan kebijakan oknum terkait.
Kekerasan seringkali dipahami secara sempit sebagai perilaku satu manusia terhadap manusia lain atau sekelompok manusia terhadap manusia lain untuk mempertahankan kekuasaan atau eksistensi manusia atau kelompok manusia tersebut, sedangkan kekerasan terhadap alam atau lingkungan hidup tidak dianggap sebagai kekerasan. Jika kekerasan hanya dipahami dalam sudut pandang yang sempit seperti itu, maka perusakan lingkungan hidup tidak akan pernah dipandang sebagai tindakan yang mengancam keselamatan manusia.
Keselamatan manusia pada masa mendatang hanya menjadi sesuatu yang diasumsikan, diangankan, atau diandaikan terjadi. Ia hanya ilusi. Bukan sesuatu yang dipastikan terwujud. Sebab, masa depan sejatinya merupakan sesuatu yang belum pasti. Kepastian hanya ada pada masa kini atau bahkan hari ini. Oleh karena itulah, apa yang bisa diperoleh atau dinikmati dari alam harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini atau bahkan hari ini tanpa peduli apakah prioritas tersebut akan mengancam keselamatan generasi penerus atau tidak. Yang terpenting, manusia masa kini atau hari ini selamat. Sebab, tanpa masa kini atau hari ini, tidak akan ada masa depan.

Keadaan seperti itulah yang menyebabkan eksplorasi kekayaan alam berubah menjadi eksploitasi kekayaan alam yang tidak akan pernah dianggap sebagai tindakan kekerasan. Begitu pula dengan perilaku yang tidak menunjukkan keramahan pada alam, seperti menebang pohon dan membunuh satwa di hutan lindung, pembalakan liar atau illegal logging, pembuangan limbah pabrik ke sungai secara sembarangan, pencemaran udara, pemanfaatan kertas yang berlebihan, serta pembangunan gedung yang penuh dengan kaca.
Padahal, dalam konteks lingkungan dan pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan bahwa salah satu prinsip kunci pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengesampingkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun mendatang.
Namun jika kita tidak dapat bertindak untuk melindungi bumi, air, dan kekayaan alam, dampak yang akan kita tanggung akan menjadi begitu langsung dan menekan dikarenakan konsekuensinya yang begitu besar. Anak-cucu kita pada masa mendatang pun akan membayar jauh lebih mahal karena beban yang kita wariskan begitu berat, yakni kerusakan alam yang sangat parah.
Jika perilaku yang berhubungan langsung dengan alam atau lingkungan hidup saja tidak dianggap sebagai tindakan kekerasan, apalagi perilaku yang tak berkaitan langsung. Padahal, perilaku tersebut juga dapat mengancam keselamatan manusia masa kini sekaligus masa depan. Misalnya saja konsep pembangunan dan produksi yang eksploitatif, korupsi dana reboisasi, korupsi dana penanganan bencana alam atau banjir, penyuapan atau penyogokan dalam kasus pelanggaran peraturan lingkungan hidup, kelalaian dalam pengawasan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta kelalaian dalam pengantisipasian kemungkinan terjadinya bencana alam atau banjir.
Kini sudah saatnya setiap perilaku yang tidak ramah lingkungan ditempatkan sebagai tindakan kekerasan dalam perspektif yang luas sebagaimana dipahami Johan Galtung. Beliau menggabungkan tersedianya fasilitas dan mobilitas dengan kemauan baik untuk mengatasi kekerasan. Bila wawasan, sumber daya, dan hasil kemajuan disalahgunakan untuk tujuan lain atau dimonopoli segelintir orang saja, ada kekerasan dalam sistem tersebut. Misalnya, banjir yang rutin terjadi di negeri ini. Hujan yang menjadi salah satu penyebab banjir memang tidak dapat dipastikan kapan turunnya, namun kita mengenal rentang masa ketika hujan biasa luruh ke bumi. Kita juga memahami wilayah-wilayah yang rutin dilanda banjir. Kita juga mafhum bahwa tidak biasanya masyarakat membuat sampah di tempatnya turut berpotensi mengundang banjir. Kalau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tak langsung dapat memicu terjadinya banjir kurang atau tidak diantisipasi atau bahkan dibiarkan, pada saat yang sama, kekerasan telah dimulai. Ketika banjir meratakan banyak wilayah serta berbagai alasan langsung dan tak langsung menunjukkan ketidakmampuan penanganan bencana banjir.
Seharusnya kini setiap perusak alam atau lingkungan tidak hanya dikenai sanksi administratif, penjara 1-15 tahun, dan denda Rp500 juta-Rp15 miliar sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namunseharusnya dikenai sanksi atau hukuman lebih berat. Kebijakan ini sangat beralasan, karena taruhannya bukan hanya manusia dan makhluk hidup masa kini, tapi juga manusia dan makhluk hidup pada masa mendatang.
Sanksi sosial pun dapat ditimpakan kepada perusak alam atau lingkungan hidup. Hanya saja semua itu memerlukan waktu yang panjang lantaran selama ini masyarakat tidak menempatkan perusakan alam atau lingkungan dalam sudut pandang kekerasan. Oleh sebab itulah, penanaman kesadaran terhadap setiap pemimpin setiap agen atau calon agen perubahan, dan setiap generasi penerus menjadi sangat penting.
Di sisi lain, setiap individu atau lembaga yang berperilaku atau berkontribusi pada upaya-upaya pelestarian alam juga harus diapresiasi. Misalnya saja dengan pemberian insentif pajak terhadap perusahaan atau insitusi yang intens melakukan kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan, pengurangan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) atau pemberlakukan tarif PBB yang berbeda terhadap pemilik tanah dan bangunan  yang berperilaku ramah lingkungan. Peyerahan  Anugerah Kalpataru kepada aktifis pelestarian alam, sehingga mampu mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang lebih sederhana, namun membumi dan inspiratif.



`                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar